Pada awal terbentuknya masyarakat Osing kepercayaan utama suku Osing adalah Hindu-Buddha seperti halnya Majapahit. Namun berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan agama Islam dengan cepat menyebar di kalangan suku Osing. Berkembangnya Islam dan masuknya pengaruh luar lain di dalam masyarakat Osing juga dipengaruhi oleh usaha VOC dalam menguasai daerah Blambangan. Masyarakat Osing mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

Suku Osing atau biasa diucapkan Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai Laros (akronim daripada Lare Osing) atau Wong Blambangan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Orang Osing menggunakan bahasa Osing yang merupakan pengaruh dari bahasa Bali dan turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno, sebagai bahasa sehari-hari mereka.
Di Banyuwangi, Suku Osing dapat ditemui di Kecamatan Giri, Kecamatan Songgon, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Blimbingsari, Kecamatan Kabat, Kecamatan Licin, Kecamatan Glagah, dan sebagian berada di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kalipuro, seta Kecamatan Sempu. Namun terdapat satu wilayah Suku Osing yang kemudian dijadikan sebagai desa adat, yaitu Desa Kemiren di Kecamatan Glagah.
Berdasarkan hasil penelitian, Suku Osing dianggap sebagai masyarakat asli dari Banyuwangi yang mereka sebut sebagai Tanah Blambangan. Suku ini menyebar di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi. Sekilas tradisi, budaya, dan bahasa Suku Osing memiliki kemiripan dengan Suku Jawa dan Suku Bali. Namun demikian, Suku Osing bukanlah bagian dari Suku Jawa atau Suku Bali.
Desa Kemiren didirikan pada 1995 dan menjadi tempat dimana budaya serta cara hidup Suku Osing dipertahankan secara turun-temurun. Banyak festival dan kesenian budaya yang sengaja digelar di Desa Kemiren untuk memperkenalkannya kepada wisatawan. Salah satu yang menarik untuk disaksikan adalah proses menumbuk padi yang masih sangat tradisional. Tradisi ini disebut gedhongan yang dilakukan oleh para wanita.
Desa Kemiren lahir pada zaman penjajahan Belanda di nusantara, sekitar tahun 1830-an. Awalnya sebelum menjadi pemukiman, kawasan ini adalah hamparan persawahan dan hutan milik penduduk Desa Cangking yang merupakan asal-muasal masyarakat Osing. Penduduk Desa Cangking banyak yang keluar dari desa untuk menghindari kekejaman Belanda. Mereka bahu-membahu membangun sebuah desa baru di tempat ini yang sekarang dikenal dengan Desa Kemiren.
Pada tahun 1995, Kementerian Pariwisata melakukan riset untuk mencari lokasi pembangunan desa adat untuk Suku Osing. Desa Kemiren dipilih karena adat-istidat, tradisi, cara hidup, dan bahasanya masih asli belum tercampur dengan budaya dari suku lain. Sekarang, Desa Kemiren menjadi lokasi dimana seluruh budaya lokal Suku Osing dilestarikan dan terus dipamerkan kepada para wisatawan.

Suku Osing masih mempertahankan nilai-nilai tradisi asli nenek moyang. Beberapa diantaranya adalah tradisi Tumpeng Sewu, Barong Ider Bumi, dan masih banyak lagi lainnya. Suku Osing juga dikenal karena seni Tari Gandrung yang lekat dengan kisah perjuangan melawan penjajahan. Keberadaannya bahkan menjadi ikon kesenian dan budaya Banyuwangi. Setiap tahunnya pemerintah Banyuwangi rutin menggelar Festival Gandrung Sewu.
Tari Gandrung klasik memiliki perbedaan dengan yang sering dipentaskan sekarang, terutama di panggung Festival Gandrung Sewu. Tari Gandrung klasik diperkirakan lahir pada 1700-an dan pada mulanya dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Dewi Sri setelah masa panen. Kemudian pada masa kolonialisme Belanda, Tari Gandrung menjadi media perlawanan Suku osing kepada tirani penjajahan.
Dahulu dipentaskan oleh laki-laki yang berdandan layaknya wanita. Sang penari bertugas sebagai mata-mata dan pemberi bantuan kepada para pejuang kemerdekaan. Saat itu masyarakat biasa bukan penari yang berkeliaran dari desa ke desa akan ditangkap Belanda. Sedangkan Tari Gandrung yang sekarang merupakan jenis tari kreasi yang bisa dipadukan dengan drama teatrikal. Penarinya juga lebih didominasi oleh perempuan.
Mantap đđ
BalasHapus