Langsung ke konten utama

Artikel Terbaru

Mengenal Lebih Dalam Suku Sunda

MENGENAL LEBIH DALAM SUKU SUNDA    Suku Sunda (Sunda : Urang Sunda; aksara sunda ᮅᮛᮀ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ) adalah suku bangsa yang berasal dari bagian barat pulau jawa Indonesia dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup sebagian besar wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta dan sebagian wilayah barat Jawa Tengah. Populasi Suku Sunda secara signifikan juga dapat ditemukan di wilayah provinsi lain di Indonesia, dan di luar negeri seperti di Taiwan, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Eropa, Jepang, Korea Selatan, Hongkong (Tiongkok) dan negara-negara lainnya sebagai tempat bagi para diaspora Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam (sekitar 99,84%), tetapi ada juga sebagian kecil orang Sunda yang beragama Kristen (sekitar 0,09%) seperti di wilayah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Masyarakat Sunda yang menganut agama Kristen juga tersebar di beberapa wilayah selain di Cigugur yakni di Cianjur, Bandung, dan Sukabumi. Bukti adanya Kekristenan di tanah Sunda dan pada masyarakat Sun...

Mengenal Lebih Dalam Suku Dayak Asli Dari Kalimantan

Mengenal Lebih Dalam Suku Dayak Asli Dari Kalimantan

Agus djaenut setiawan - Kali ini saya akan membahas salah satu suku yang berasal dari kalimantan. Sebelumnya saya sudah membahas suku banjar dan sekarang saya akan membahas suku dayak.

Suku Dayak (Dajak atau Dyak) adalah suku bangsa yang mendiami pedalaman pulau kalimantan. Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu".


Suku Dayak berasal dari Kalimantan namun tersebar hingga ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Dikarenakan arus migrasi dan pengaruh yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak yang berakulturasi akhirnya melahirkan kebudayaan baru dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.


Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.

Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309 -1389.

Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak karena adanya pengaruh budaya, bahasa, adat bahkan DNA/genetika yang sangat kuat dari para pendatang karena adanya akumulasi. Hal ini membuat perbauran/akulturasi suatu suku sehingga membentuk budaya baru yang kemudian menjadi suku yang mandiri/melahirkan etnis tersendiri.

Walau begitu, orang Dayak yang hanya memeluk Islam tetap teguh dengan Dayaknya mereka tetap lah Dayak tetapi disebut sebagai orang Senganan/Dayak Senganan (kecuali orang-orang Dayak yang berakulturasi yang akhirnya melahirkan kebudayaan/suku baru yang bukan bagian dari Dayak lagi) tetapi biar begitu asal-usul mereka ya tetaplah Dayak.

Contoh saja suku Dayak yang memeluk Islam lalu membentuk budaya baru seperti Banjar dan Kutai, mereka lebih senang jika menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Orang Kutai.

Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam & tetap teguh dengan agama lama kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba.

Tidak hanya dari Nusantara, bangsa - bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa - bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643).

Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah.

Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.


Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.

Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok.

Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkuk dan guci.

Suku Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan atau Bidayuh dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan).

Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.

Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.



Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.

Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.

Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal, orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang mula-mula bermigrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.

Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.

Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal.

Agamawan Kristen dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.

Upaya-upaya penyebaran agama Kristen selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, sering kali orang-orang asing terbunuh.

Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka.

Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktivitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar.

Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang (Ijambe) dalam ritual penguburan sekunder.

Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.

Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.

Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.

Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan.

Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan.

Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.

Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.

Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.

Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.

Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.

Pada masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Kristen mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Kristen dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.


Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. 

Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan:

• Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
• Penguburan di dalam peti batu (dolmen).
• Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan:

1. Wadah (peti) mayat bukan peti mati: lungun, selokng dan kotak
2. Wadah tulang-beluang: tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci

Berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)

Suku Dayak Benuaq:
   â€˘ Lubekng (tempat lungun).
   â€˘ Garai (tempat lungun, selokng).
   â€˘ Gur (lungun).
   â€˘ Tempelaaq dan Kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

- Penguburan tahap pertama (Primer).
- Penguburan tahap kedua (Sekunder).

Penguburan Primer

1. ParepmApi (Dayak Benuaq)
2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan Sekunder

Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. 


Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.

Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni:

• Dikubur dalam tanah.
• Diletakkan di pohon besar.
• Dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder

1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.

2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.

3. Marabia.

4. Mambatur (Dayak Maanyan).

5. Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq).


Suku Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan atau Bidayuh dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan).

Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.

Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.

Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suku Ammatoa Atau Suku Kajang Di Bulukumba Sulawesi Selatan

 Suku Ammatoa Atau  Suku Kajang Di Bulukumba Sulawesi Selatan    Agus Djaenut Setiawan - Suku Kajang Ammatoa terletak di kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, Sulawesi Selatan. Desa ini dinamakan Tana Toa yang merupakan tanah yang tertua di dunia dikarenakan kepercayaan masyarakat adatnya.

Mengenal Lebih Dalam Suku Sunda

MENGENAL LEBIH DALAM SUKU SUNDA    Suku Sunda (Sunda : Urang Sunda; aksara sunda ᮅᮛᮀ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ) adalah suku bangsa yang berasal dari bagian barat pulau jawa Indonesia dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup sebagian besar wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta dan sebagian wilayah barat Jawa Tengah. Populasi Suku Sunda secara signifikan juga dapat ditemukan di wilayah provinsi lain di Indonesia, dan di luar negeri seperti di Taiwan, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Eropa, Jepang, Korea Selatan, Hongkong (Tiongkok) dan negara-negara lainnya sebagai tempat bagi para diaspora Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam (sekitar 99,84%), tetapi ada juga sebagian kecil orang Sunda yang beragama Kristen (sekitar 0,09%) seperti di wilayah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Masyarakat Sunda yang menganut agama Kristen juga tersebar di beberapa wilayah selain di Cigugur yakni di Cianjur, Bandung, dan Sukabumi. Bukti adanya Kekristenan di tanah Sunda dan pada masyarakat Sun...

Wong Samin Penganut Agama Nabi Adam Yang Anti Poligami

Wong Samin Penganut Agama Nabi Adam yang Anti poligami Agus Djaenut Setiawan - Blora adalah kota kecil yang menyimpan sejarah Samin, ‘mungkin’ sering jadi bahan cemoohan. Desa Klopoduwur yang terletak di Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah tempat masyarakat Samin tinggal. Dalam sebuah kesempatan beberapa pekan yang lalu, penulis singgah pada komunitas ini, komunitas samin yang enggan dibilang wong Samin mereka lebih suka disebut “Sedulur Sikep”.